Selalu Mengingat Kematian
Kehidupan para samurai diibaratkan seperti bunga sakura yang umurnya sangat singkat. Bunga khas Jepang ini hanya mekar sekitar tujuh hari, dari mulai kuncup hingga kelopak bunga mulai rontok. Jika cuaca hujan lebat dan angin kencang, maka umur sakura bisa lebih singkat lagi. Karena itulah, sakura disebut isagiyoku, patto saite, patto ochiru’ yang berarti “berbunga indah dalam waktu singkat, kemudian berguguran”.Jalan samurai akan ditemukan dalam kematian. Ketika jalan itu terjelang, satu-satunya pilihan hanyalah kematian. Dan ini samasekali bukanlah pilihan yang sulit.(Yamamoto Tsunetomo, Hagakure)
Kembang yang memiliki pesona luar biasa serta diikuti dengan fase kematian yang sangat cepat, sering dikaitkan dengan kehidupan samurai yang memilih mati meninggalkan nama baik daripada hidup tanpa pesona.
Dalam Bushido Shoshinsu atau ’Bushido bagi Pemula’ buku berusia 300 tahun yang ditulis oleh Taira Shigesuke menjadikan topik tentang ’mengingat kematian’ ini di bagian awal karena topik ini merupakan hal yang paling penting dan mendasar.
”Seorang yang akan menjadi prajurit harus selalu ingat akan kematian sepanjang waktu, setiap hari, setiap malam, dari pagi Tahun Baru hingga malam Akhir tahun. Kesadaran siap mati ini harus ditanamkan dalam-dalam di dalam otak.”
Ia juga mengatakan bahwa jika seseorang bisa selalu ingat kematian di sepanjang waktu, maka akan siap mengemban tugas dan juga akan menghindari setan dan kejahatan. Dan yang lebih penting karakter kepribadian akan lebih meningkat dan kebaikan diri akan tumbuh.
Menurutnya jika sesorang berpikir umurnya akan panjang mungkin bisa saja ia teledor. Ia tidak akan menunjukkan kinerja terbaiknya. Sebaliknya jika menyadari bahwa hidup hanya saat ini dan tidak tahu pasti apa yang terjadi besok, maka ia akan mempunyai perasaan bahwa itu merupakan kesempatan terakhir, dan akan melalukan yang terbaik.
Kode samurai mengatakan bahwa semua permasalahan bersumber dari kelalaian saat kita tidak lagi mengingat kematian sepanjang waktu. Berbagai nafsu dan keinginan akan bermunculam sehingga kita menjadi tamak dan rakus.
Cara mengingat kematian bukan sekadar duduk berpangku tangan sepanjang waktu menunggu datangnya kematian, hal itu malah akan membuat jiwa ksatria akan menguap. Yang harus dilakukan adalah tetap melakukan kewajiban publik maupun pribadi siang dan malam.
Pahlawan besar Kusunoki Masashige berpesan pada putranya, ”Biasakan dirimu dengan kematian!”
Mengingat kematian senantiasa menjadi tema sentral para samurai spiritual. Yamamoto Tsunetomo dalam Hagakure mengatakan bahwa para samurai setiap pagi harus selalu menanamkan diri mereka tentang bagaimana cara untuk mati. Setiap malam mereka menyegarkan kepala mereka tentang menghadapi kematian. Dan biarlah semua ini terus terjadi tanpa akhir.
Kaum samurai bukan saja selalu mengingat kematian namun juga mereka menjadi tidak takut mati. Demi menjalankan tugas dan perjuangan, mereka rela melakukan apapun meski nyawa menjadi taruhannya. Mereka menjadi orang-orang yang mencintai tugas dan kewajibannya melebihi kecintaaan mereka pada diri mereka sendiri.
Jika mereka tak berhasil menunaikan tugas, atau demi menanggung rasa malu karena kekalahan mereka rela melakukan bunuh diri atau lebih dikenal dengan seppuku (pengeluaran isi perut) atau harakiri (penyobekan perut).
Seiring perjalanan waktu di jaman modern tradisi bunuh diri berubah menjadi sikap lebih baik mengakhiri atau mundur dari jabatan secara terhormat daripada menanggung malu karena tak mampu menunaikan tugas. Ada seorang pejabat pemerintah mengundurkan diri dari jabatannya karena istrinya tidak membayar pajak.
Menjadi “tidak takut mati” akan membuat seseorang menjadi lebih yakin lagi bahwa “sesungguhnya manusia tidak akan pernah mati” karena kita yakin kematian hanya sementara, kita pasti akan kembali hidup di alam lain.
Nabi Muhammad S A W bersabda:
”Orang yang cerdas adalah orang yang pandai menghisab dirinya di dunia dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya suka berharap kepada Allah tanpa melakukan apa-apa.” (HR Tirmidzi).Bushido terdiri dari kata bushi (ksatria atau prajurit) dan do (jalan). Bushido atau ’jalan ksatria’ merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral keksatriaan yang berlaku di kalangan samurai khususnya di zaman feodal Jepang (Abad 12-19). Makna bushido secara umum adalah sikap rela mati negara/kerajaan dan kaisar). Pada zaman feodal itu, pengelompokan dalam masyarakat amat ketat dijalankan, dimana bushi/samurai menempati posisi tertinggi. Mereka sangat disegani dan ditakuti oleh masyarakat, terlebih pada zaman Tokugawa, saat diterapkannya politik sakoku (penutupan diri) dari dunia luar. Saat itulah secara resmi Bushido disusun dalam bentuk etika, diterapkan dengan ketat, dan diajarkan pada masyarakat.
Kode etik Bushido mengendalikan setiap aspek kehidupan para samurai. Petunjuk utama para samurai dalam hukum tersebut adalah mereka harus mengembangkan keahlian olah pedang dan berbagai senjata lain, berpakaian dan berperilaku secara khusus, dan mempersiapkan kematian yang bisa terjadi sewaktu-waktu ketika melayani tuannya. Mereka mengabdikan kesetiaan itu sebagai standar moral tinggi untuk semua tindakan dalam kehidupan. Bushido tercermin pada saat perang dunia II, yaitu menjadi prajurit berani mati. Semangat bushido terus menyertai perjalanan bangsa Jepang dari masa ke masa sehingga akhirnya Jepang berhasil bangkit dari keterpurukan Perang Dunia II dan kemudian muncul sebagai raksasa ekonomi. Meski perubahan besar-besaran terjadi pada masa Meiji ketika begitu banyak generasi Jepang dikirim ke Amerika dan Eropa, nilai-nilai ini tetap dianut sebagian besar orang Jepang karena sudah terinternalisasi dalam masyarakat secara kuat melalui proses selama ratusan tahun.